Senin, 13 Februari 2012

What A Shame

Jadi, waktu setempat menunjukkan pukul 12.21 AM dan ane belum bisa tidur.
Ane sudah beli speaker, yang artinya sayonara-punggung-pegel! Liburan biasa saja, nilai-nilai biasa saja (kalau dengar kata IP, jadi emosi), kesehatan baik, kehidupan sosial lumayan, dll, dll..

Ane belajar sesuatu juga, sih hari ini...
Jadi tetangga ane ada yang minta diajari Tafsir Qur'an. Sebutlah namanya Indri. Beliau ini orang yang lebih unggul dari ane dalam hal semangat belajar. Dia tidak kuliah bahkan tidak lulus SMU, tapi semangat-nya mengalahkan semangat belajar mahasiswa. Dengan malu-malu dia yang beranggapan aku berilmu, minta diajarkan al-Qur'an.
Kau tidak boleh menolak orang seperti itu 'kan?
Maksud ane, ane kurang suka ide menjadi ustazah, tapi akhirnya datang juga waktunya. Bukannya ane meremehkan ustazah secara umum! TIDAK sama sekali! Malah malu juga kalau sudah belajar tapi hanya untuk diri sendiri. Seperti pohon yang tidak berbuah dan tidak manfaat. Cuma sampah masyarakat.
Ane tidak ingin karena terlalu takut menyampaikannya. Takut salah. Takut merasa takabur. Takut kalau tidak sesuai diri sendiri dengan apa yang ane ajari. Itu jauh lebih menakutkan! Padahal ane sadar orang-orang kekurangan ustazah-ustazah itu.
Pada akhirnya ane bersedia juga dan berusaha mengajarkan sebisa ane. Dia sungguh antusias dan selalu menanggapi perkataanku dengan positif. Kepadanya ane jujur saja, ilmu ane masih sedikit sekali. Tapi dia bilang tidak apa-apa. Ajarkan saja yang ane tahu.
Hanya saja, ane membuat kesalahan, sepertinya materi yang ane sampaikan terlalu teoritis dan terdengar akademis. Dia yang tidak terbiasa dengan bahasa keilmuan dan orang yang berbicara cepat-cepat harus mengerutkan kening berkali-kali. Akhirnya ia mengaku juga kalau ia sulit mengerti materinya.
Aku merasa malu. Akhirnya kau mengerti, mengapa penceramah bersikap santai, humoris, down-to-earth kepada masyarakat awam. Aku ini mirip seperti mahasiswa desain mengajarkan mewarnai kepada anak TK. Dasar bodoh. Aku malu pada diriku sendiri. Padahal hanya dengan secuil ilmu yang kuberikan asal mudah dipahami jauh lebih baik, ketimbang rumit namun hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Jadi aku menjanjikan untuk mengubah metode pengajaranku dan berjanji untuk mencetak semua slideshow yang kubuat. Aku meminta maaf seperti orang gila tadi. Malu sekali.
Ilmu agama yang kupelajari kadang hanya terasa seperti tumpukan dokumen akademis yang kaku dalam otakku. Bukan untuk dipraktekkan, hanya sekadar tahu. Memalukan.
Aku tidak sanggup melanjutkan ini, aku punya lebih banyak alasan lagi untuk merasa jauh lebih jengkel terhadap diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar