Rabu, 29 Februari 2012

The Hobbit's Poetry

Song for the Sea
by: JRR Tolkien


To the Sea, to the Sea! The white gulls are crying,
The wind is blowing, and the white foam is flying.
West, west away, the round sun is falling.
Grey ship, grey ship, do you hear them calling,
The voices of my people that have gone before me?
I will leave, I will leave the woods that bore me;
For our days are ending and our years failing.
I will pass the wide waters lonely sailing.
Long are the waves on the Last Shore falling,
Sweet are the voices in the Lost Isle calling,
In Eressea, in Elvenhome that no man can discover,
Where the leaves fall not: land of my people for ever”

"When the cold of winter comes
Starless night will cover day.
In the veiling of the sun
We will walk in bitter rain.

But in dreams
I can hear your name.
And in dreams
We will meet again.

When the seas and mountains fall
And we come to end of days.
In the dark I hear a call
Calling me there.
We will go there
And back again.

Senin, 27 Februari 2012

Thomas no Shinzou (review)

Salah satu keuntungan membaca komik online adalah kau bisa lebih leluasa memilih manga mana yang sesuai seleramu, mereka meletakkannya dihalaman web dengan sangat teratur, berdasarkan genre, mangaka, dan jumlah pengunjung. Gratis. Tidak dihitung biaya listrik/warnet. Tapi lebih murah daripada harga satu komik yang sekarang dijual di toko buku...dan semakin mahal ketika akhirnya mengecawakanmu.
Membaca komik online juga memudahkanku untuk menemukan the hidden gems, the treasure of greatest manga, banyak sekali kutemukan manga yang tidak populer (setidaknya dikalangan pembaca negara ini) namun sesungguhnya sangat bagus. Beberapa diantaranya sangat mencerahkan namun banyak yang terlupakan. Tidak terbaca oleh khalayak banyak.
Aku tidak akan menulis semua judulnya, tapi yang paling berkesan sampai sekarang tentu saja hanya satu: Thooma no Shinzou (Heart of Thomas) yang dikarang oleh Hagio Moto.

Aku tidak mengerti cerita cinta kecuali dari beberapa novel, manga, lagu, atau film yang menurutku bagus. Dan sekali lagi mereka semua FIKSI belaka, aku cukup cerdik untuk tidak tertipu mentah-mentah. Syair puisi karya John Keats amat indah, manga Bokura Ga Ita sangat jenius, tapi mereka semua tidak nyata. Sebab kenyataan yang berlaku disekitarku amat mengerikan. Aku tidak akan pernah memahami cinta yang ada dalam kenyataan... kecuali dari fiksi. Termasuk komik ini.

Thomas no Shinzou diterbitkan oleh Shogakukan pada tahun 1974, dan merupakan perintis awal genre shonen-ai (lihat di Wiki apa artinya). Manga ini kutemukan secara random ketika aku sedang iseng membaca sejarah munculnya shoujo (sebenarnya didasari oleh rasa muak oleh shoujo populer yang sedang digemari anak-anak gadis). Ternyata kebencian itu justru membawaku kepada judul yang aneh ini dan, yah.... syukurlah ada para scanners komik online yang baik hati. Aku tidak yakin mampu menemukan manga ini dimanapun di negara tempatku tinggal... karena, well... itu shonen-ai (lihat di Wiki, please).

Kisahnya mengenai seorang siswa sekolah asrama di Jerman, Thomas, yang bunuh diri dan meninggalkan surat cinta kepada temannya; Juli. Setelah kematiannya yang diduga hanya kecelakaan, sekolah itu mendapati seorang siswa baru yang mirip dengan Thomas secara fisik; Eric. Namun Eric tidak semanis Thomas maupun sesensitif dia. Eric manja dan angkuh. Juli yang sama sekali tidak mempedulikan semua rumor tentang Thomas, tidak menganggap Eric mirip Thomas. Juli menolak cinta Thomas dan kali ini ia menerima perasaan yang lebih mendalam dari Eric. Ia akan menolak cinta untuk kesekian kalinya.

Dengan karakter yang dalam dan alur yang sangat melodramatis, bisa dibilang ini merupakan contoh shoujo yang patut ditiru mangaka lainnya. Dialog dan tone yang digunakan sangat indah, kau akan menyukainya, walaupun artworknya amat sangat jadul. But that's not the point. The point is the story.
It's just stunningly beautifully designed! It will worth your time, even if you weren't a manga reader.

Aku dapat merasakan cinta yang tulus dalam ceritanya dan begitu terpana dengan kehebatan Hagio Moto yang pandai merangkai ceritanya. Meskipun settingnya sama sekali bukan di Jepang, tapi bahkan ini tidak dapat disamakan dengan literatur Barat lain... apalagi yang mengangkat isu seperti ini. Tidak seperti genre Yaoi yang terlalu menjurus kearah seks, shonen-ai lebih kearah emosionalnya. Dan dalam hal ini, aku masih bisa mentolerirnya. Bahkan lebih masuk akal daripada Romeo and Juliet, dalam kisah ini, cinta adalah sesuatu yang menyembuhkan, mencerahkan, dan membahagiakan. Bukan sesuatu yang menjijikkan, tak peduli apapun orientasi seksual seseorang. Karenanya, manga ini tidak hanya bicara mengenai cinta, tapi juga persahabatan, kemanusiaan, dan kerumitan definisi cinta itu sendiri. Yang mana, pada akhirnya semuanya berakhir adil dan masuk akal.

Kau bisa membacanya disini, manga ini sudah tamat jadi kau tidak perlu khawatir dengan kelanjutan scanningnya.

Jumat, 17 Februari 2012

A Very Brief Friendship, An Eternal Memory

Dia adalah seseorang yang kuharapkan menjadi teman kampusku, tetanggaku, saudaraku, dan sahabat lamaku. Dalam kenyataan hidup, dia adalah guru bahasa Inggrisku, tapi dia lebih dari itu. Ia adalah cerminan diriku yang lebih ceria. Kami mungkin memiliki selera yang berbeda, ia menelusuri tiap kalimat dengan teliti dalam cerpen-cerpen Roald Dahl, sedangkan aku lebih menyukai Edgar Allan Poe. Ia mencintai kisah anak-anak dan dunia mereka yang jujur, aku menyukai kisah remaja yang rumit dan kaya. Ia ingin menyelamatkan hutan hujan, aku ingin menyelamatkan minat baca semua orang. Kami memandang dunia dengan warna mata yang berbeda namun dengan cara yang sama. Ia-lah orang yang kuharapkan keberadaannya ada disisiku sekarang. Andai saja ia mengetahui ini.

Dan sekarang waktu kami sudah habis, perpisahan telah lewat, namun aku sangat merindukannya.
Oh, Tuhan andai saja ia mengetahui ini. Aku tidak tahu bagaimana menuliskan kesedihan-ku malam ini, mereka semua pergi seperti angin. Ia bagaikan cahaya matahari dalam hidupku yang kubenci. Dan sekarang malam yang panjang akan menantiku. Aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Senin, 13 Februari 2012

What A Shame

Jadi, waktu setempat menunjukkan pukul 12.21 AM dan ane belum bisa tidur.
Ane sudah beli speaker, yang artinya sayonara-punggung-pegel! Liburan biasa saja, nilai-nilai biasa saja (kalau dengar kata IP, jadi emosi), kesehatan baik, kehidupan sosial lumayan, dll, dll..

Ane belajar sesuatu juga, sih hari ini...
Jadi tetangga ane ada yang minta diajari Tafsir Qur'an. Sebutlah namanya Indri. Beliau ini orang yang lebih unggul dari ane dalam hal semangat belajar. Dia tidak kuliah bahkan tidak lulus SMU, tapi semangat-nya mengalahkan semangat belajar mahasiswa. Dengan malu-malu dia yang beranggapan aku berilmu, minta diajarkan al-Qur'an.
Kau tidak boleh menolak orang seperti itu 'kan?
Maksud ane, ane kurang suka ide menjadi ustazah, tapi akhirnya datang juga waktunya. Bukannya ane meremehkan ustazah secara umum! TIDAK sama sekali! Malah malu juga kalau sudah belajar tapi hanya untuk diri sendiri. Seperti pohon yang tidak berbuah dan tidak manfaat. Cuma sampah masyarakat.
Ane tidak ingin karena terlalu takut menyampaikannya. Takut salah. Takut merasa takabur. Takut kalau tidak sesuai diri sendiri dengan apa yang ane ajari. Itu jauh lebih menakutkan! Padahal ane sadar orang-orang kekurangan ustazah-ustazah itu.
Pada akhirnya ane bersedia juga dan berusaha mengajarkan sebisa ane. Dia sungguh antusias dan selalu menanggapi perkataanku dengan positif. Kepadanya ane jujur saja, ilmu ane masih sedikit sekali. Tapi dia bilang tidak apa-apa. Ajarkan saja yang ane tahu.
Hanya saja, ane membuat kesalahan, sepertinya materi yang ane sampaikan terlalu teoritis dan terdengar akademis. Dia yang tidak terbiasa dengan bahasa keilmuan dan orang yang berbicara cepat-cepat harus mengerutkan kening berkali-kali. Akhirnya ia mengaku juga kalau ia sulit mengerti materinya.
Aku merasa malu. Akhirnya kau mengerti, mengapa penceramah bersikap santai, humoris, down-to-earth kepada masyarakat awam. Aku ini mirip seperti mahasiswa desain mengajarkan mewarnai kepada anak TK. Dasar bodoh. Aku malu pada diriku sendiri. Padahal hanya dengan secuil ilmu yang kuberikan asal mudah dipahami jauh lebih baik, ketimbang rumit namun hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Jadi aku menjanjikan untuk mengubah metode pengajaranku dan berjanji untuk mencetak semua slideshow yang kubuat. Aku meminta maaf seperti orang gila tadi. Malu sekali.
Ilmu agama yang kupelajari kadang hanya terasa seperti tumpukan dokumen akademis yang kaku dalam otakku. Bukan untuk dipraktekkan, hanya sekadar tahu. Memalukan.
Aku tidak sanggup melanjutkan ini, aku punya lebih banyak alasan lagi untuk merasa jauh lebih jengkel terhadap diri sendiri.

Kamis, 09 Februari 2012

Antoine Doinel, Antoine Doinel

Biasanya review film berisi penilaian dan judgement dari orang-orang yang merasa mereka paham film itu sepenuhnya. Sekarang aku sedang tidak mood sama sekali untuk menulis dengan gaya "angkuh" begitu. Aku sedang ingin sharing film yang barusan aku selesaikan. The Saga of Antoine Doinel yang mencakup 5 film dia. Disutradarai oleh Francois Truffaut dan dirilis DVD-nya oleh Criterion Collection, film Perancis yang bersettingkan tahun 50-60'an ini adalah salah satu film yang membuatku berdecak kagum. Sekali aku melihat trailer filmnya, langsung aku memutuskan untuk mengikuti petualangan Holden Caulfield-nya Perancis ini; Antoine Doinel (diperankan oleh Jean Pierre Leaud)

Saga semi autobiografi ini mencakup 5 film yaitu:
1. The 400 Blows
2. Antoine and Colette
3. Stolen Kisses
4. Bed and Board
5. Love on The Run

Jika The Catcher in The Rye mengingatkan kita pada Holden Caulfield yang depresi berjalan-jalan di jalanan kota New York tengah malam yang berkabut, Antoine Doinel muda melakukannya di jalanan kota Paris, mencari tempat untuk tidur atau mesin tik untuk dicuri.

Sejak SMA, bisa dibilang aku yang agak labil ini selalu mencari tokoh panutan. Yah, bukan berarti Holden Caulfield atau Antoine Doinel adalah tokoh panutanku. Tapi aku bisa memahami perasaan mereka, suatu perasaan yang dirasakan oleh banyak remaja lain, disadari atau tidak. Film ini menggambarkan kepolosan anak-anak dan pencarian kasih sayang. Sebentar, itu agak terdengar lebay... tapi memang itu kesimpulan yang kudapat. Antoine Doinel sejak film pertamanya adalah karakter yang haus pengakuan, arogan, tapi sensitif. Ia agak nakal tapi bukan berarti bodoh. Ia mencintai novel sastra <---bukan hal ini juga yang membuatnya pintar! Kurasa kalau kutilik dari pengalaman hidupku, ia pintar karena ia memutuskan untuk hidup mandiri. Hidup mandiri adalah impiannya di usia belia. Ia membenci orangtuanya. Mungkin karena itu. Namun jika kau menonton film ini, kau akan mendapatkan kesimpulan bahwa hidup mampu membunuh impian seindah apapun. Adegan akhir ketika ia berlari di tepi laut itu mewakili jutaan perasaan yang berbeda bagi tiap orang, namun buatku.. aku mendefinisikannya sebagai kebuntuan dan ketidakjelasan hidup.


Seperti halnya Tom Sawyer yang dipandang rendah oleh orang dewasa sekitarnya, Antoine Doinel mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orangtua dan gurunya. Bahkan kau akan mendapat kesan bahwa ia membenci orangtuanya dalam adegan dimana wali kelasnya bertanya alasan ia tidak masuk kelas.

Tapi aku tidak mau terlalu menggambarkan keseluruhan film ini, nanti malah jadinya spoiler, besides, lebih baik suatu fil itu direview setelah kita menonton saja. Semakin sedikit pengetahuan kita sebelum menonton, semakin kita akan menikmatinya. Meskipun, yah... tergantung orang, sih.

Tidak berhenti sampai sini, saga karakter ini terus tumbuh di film-film sekuelnya. Dalam Antoine et Colette ia menjalani kisah cinta di usia 20-an. Lalu ada Baisers Voles dimana ia mengalami petualangan cinta dengan lebih banyak lagi wanita. Lalu Domicile Conjugal, tentang... (jangan, nanti spoiler!), dan terakhir L'Amour en Fuite yang lebih seperti kilas balik kehidupannya dari 400 Blows.

Jika kau menyukai cerita yang amat sangat real (karena itulah ciri dari film-film French New Age) dengan karakter yang kuat, inilah filmnya. Apalagi kalau kau suka dengan actor with pretty face, Jean Pierre Leaud was (because now he's not) stunningly gorgeous in those movies. You won't miss this.

I'm off to watch La Chinoise now







The Trapeze Swinger

Please remember me, happily
By the rosebush laughing
With bruises on my chin, the time when
We counted every black car passing

Your house beneath the hill and up until
Someone caught us in the kitchen
With maps, a mountain range, a piggy bank
A vision too removed to mention

But please remember me, fondly
I heard from someone you're still pretty
And then they went on to say that the Pearly Gates
Had such eloquent graffiti

Like 'We'll meet again' and 'Fuck the man'
And 'Tell my mother not to worry'
And angels with their great handshakes
But always done in such a hurry

And please remember me, at Halloween
Making fools of all the neighbors
Our faces painted white, by midnight
We'd forgotten one another

And when the morning came I was ashamed
Only now it seems so silly
That season left the world and then returned
And now you're lit up by the city

So please remember me, mistakenly
In the window of the tallest tower
Call, then pass us by but much too high
To see the empty road at happy hour

Gleam and resonate just like the gates
Around the Holy Kingdom
With words like, 'Lost and found' and 'Don't look down'
And 'Someone save temptation'

And please remember me as in the dream
We had as rug burned babies
Among the fallen trees and fast asleep
Beside the lions and the ladies

That called you what you like and even might
Give a gift for your behavior
A fleeting chance to see a trapeze
Swinger high as any savior

But please remember me, my misery
And how it lost me all I wanted
Those dogs that love the rain and chasing trains
The colored birds above their running

In circles round the well and where it spells
On the wall behind St. Peter
So bright on cinder gray in spray paint
'Who the hell can see forever?'

And please remember me, seldomly
In the car behind the carnival
My hand between your knees, you turn from me
And said the trapeze act was wonderful

But never meant to last, the clowns that passed
Saw me just come up with anger
When it filled with circus dogs, the parking lot
Had an element of danger

So please remember me, finally
And all my uphill clawing
My dear, but if I make the Pearly Gates
I'll do my best to make a drawing

Of God and Lucifer, a boy and girl
An angel kissin' on a sinner
A monkey and a man, a marching band
All around the frightened trapeze swinger

Nah nah nah
Nah nah nah
Nah nah nah


by: Sam Beam ( Iron and Wine )

Sabtu, 04 Februari 2012

The Fighting Téméraire

It was eight bells ringing,
For the morning watch was done,
And the gunner's lads were singing
As they polished every gun.
It was eight bells ringing,
And the gunner's lads were singing,
For the ship she rode a-swinging,
As they polished every gun.

Oh! to see the linstock lighting,
Téméraire! Téméraire!
Oh! to hear the round shot biting,
Téméraire! Téméraire!
Oh! to see the linstock lighting,
And to hear the round shot biting,
For we're all in love with fighting
On the fighting Téméraire.

It was noontide ringing,
And the battle just begun,
When the ship her way was winging,
As they loaded every gun.
It was noontide ringing,
When the ship her way was winging,
And the gunner's lads were singing
As they loaded every gun.

There'll be many grim and gory,
Téméraire! Téméraire!
There'll be few to tell the story,
Téméraire! Téméraire!
There'll be many grim and gory,
There'll be few to tell the story,
But we'll all be one in glory
With the Fighting Téméraire.

There's a far bell ringing
At the setting of the sun,
And a phantom voice is singing
Of the great days done.
There's a far bell ringing,
And a phantom voice is singing
Of renown for ever clinging
To the great days done.

Now the sunset breezes shiver,
Téméraire! Téméraire!
And she's fading down the river,
Téméraire! Téméraire!
Now the sunset's breezes shiver,
And she's fading down the river,
But in England's song for ever

She's the Fighting Téméraire. 

the fighting temeraire tugged to her last berth to be broken up, a painting by JMW Turner


Poem by Sir Henry Newbolt